A.
Pengertian
Korupsi
Korupsi
merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu corruption yang
berarti buruk atau rusak atau memutar balik atau menyogok. Sedangkan menurut
Transparancy Indonesia korupsi diartikan sebagai perilaku pejabat publik, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam
ensikopledia Indonesia disebut ”korupsi” (dari bahasa latin: corruption yang
berarti penyuapan; corruptore berarti merusak) gejala dimana para pejabat,
badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Secara
istilah Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari
struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya
mempunyai makna yang sama. Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa
korupsi merupakan penggunaan yang korup dari derived power atau
sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang
yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan
merugikan tujuan tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas
dalih menggunakan kekuasaan itu dengan syah.
Wertheim
(dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan
tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas
jasa juga termasuk dalam korupsi.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut: Perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
korporasi yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Selain itu
terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya: Memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan,
pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau
penyelenggara Negara), menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau
penyelenggara Negara).
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau
pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
B.
Korupsi
Masih Marak di Kalangan Pejabat Pemerintahan
Salah
satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini adalah
korupsi. Sebenarnya korupsi itu sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru
menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri
fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti
yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia zaman
penjajahan yaitu dengan aanya tradisi memberikan upeti oleh bebrapa golongan
masyarakat kepada penguasa setempat.
Di
Indonesia sendiri kejahatan korupsi sudah demikian parah dan merajalela
khususnya yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ada di
Indonesia sekarang ini. DPR yang seharusnya bertugas memajukan kesejahteraan
rakyat, tetapi malah mereka sendiri yang menyengsarakan rakyat Indonesia dengan
cara melakukan tindak korupsi. Sampai artis yang terkenalpun yang menjadi
menjabat sebagai DPR juga melakukan tindak kejahatan yang sangat ganas ini.
Di kalangan pejabat Negara di Indonesia seperti saat ini, tindak korupsi
seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik,
menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti DPR. Apalagi mengingat di
akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui diman-mana, mulai dari pejabat
kecil hingga pejabat tinggi.
Di
Indonesia korupsi sudah menjadi budaya tersendiri bagi kaum yang serakah akan
sebuah kekayaan semata sehingga menyebabkan dampak kemiskinan dimana-mana
terhadap rakyat yang berekonomi kecil ataupun susah dalam hal ekonomi, korupsi
juga menyebabkan kerugian terhadap Negara sehingga Negara mengalami sebuah
penurunan pendapatan nasional (APBN) maupun daerah (APBD).
Korupsi
dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat
pemerintah terus terjadi sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian
hingga triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat
kebutuhan kenegaraan yang semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang
dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk kepentingan masyarakat demi
mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin cita-cita
tersebut bisa saja terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak
dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Sering
kali kita lihat para tersangka korupsi sekian milyar rupiah hanya mendapatkan
hukuman beberapa tahun penjara, yang rasanya sangat tidak sepadan dengan
kejahatan yang mereka lakukan. Bahkan selain mendapatkan hukuman penjara yang
dikatakan sangat ringan, sering pula para tersangka korupsi tersebut mendapatkan
keringanan atas hukuman mereka.
Jadi
seperti telah disebutkan sebelumnya korupsi bukanlah semata kejahatan karena
hasrat yang didorong oleh motif ekonomi tetapi lebih kepada kejahatan
perhitungan reward yang mereka peroleh dan hukuman yang mungkin didapatkan.
Untuk kasus di Indonesia hal itu terlihat sangat relevan melihat lemahnya
penegakan hukum di Indonesia dan makin maraknya kasus korupsi di Indonesia.
Memasuki
masa atau era reformasi, para pemimpin daerah di negeri ini mulai mengumbar
janji akan segera melakukan berbagai macam tindakan untuk melakukan pembenahan
pembangunan di bidang Pendidikan dan Kesehatan dengan membebaskan biaya untuk
masyarakat, namun nyatanya masih sangat banyak para oknum pejabat di bidang
tersebut sering menyalahkan jabatan untuk mencari keuntungan semata.
Korupsi
benar-benar telah menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat
membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat, terlebih di negara kecil
dan berkembang seperti Indonesia. Padahal, masyarakat pada umumnya
bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah menciderai rakyat miskin dengan
terjadinya penyimpangan dana yang semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan
kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk
menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah
tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil.
Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan
hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia,
mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan memicu terjadinya kejahatan
terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan
masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing. Dengan kata
lain, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi
terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia,
sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi pembangunan dan upaya
pengentasan kemiskinan.
C.
Penyebab
Terjadinya Korupsi di Indonesia
Di
Indonesia tindak pidana korupsi seakan menjadi hal yang biasa untuk dilakukan
terutama dikalangan pejabat. Para pejabat seakan tidak mempunyai rasa malu
untuk melakukan tindakan yang merugikan Negara ini. Menurut penasihat KPK,
Abdullah Hehamahua seperti yang tertulis di buku yang berjudul Memberantas
Korupsi Bersama KPK, setidaknya ada 8 penyebab terjadinya korupsi di Indonesia,
yaitu sebagai berikut:
1)
Sistem
penyelenggaraan negara yang keliru
Sebagai
negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang
pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun, mulai orde lama, orde baru, hingga
reformasi, pembangunan hanya difokuskan di bidang ekonomi. Padahal setiap
Negara yang baru merdeka, masih terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen,
dan teknologi. Sehingga konsekuensinya semua didatangkan dari luar negeri yang
pada gilirannya menghasilkan penyebab korupsi.
2)
Kompensasi
PNS yang rendah
Negara
yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar kompensasi yang
tinggi kepada pegawainya. Apalagi Indonesia yang lebih memprioritaskan bidang
ekonomi membuat yang secara fisik dan kultural menimbulkan pola konsumerisme,
sehingga 90% PNS melakukan KKN.
3)
Pejabat
yang serakah
Pola
hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan seperti diatas
mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Hal ini menyebabkan
lahirnya sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya,
seperti melakukan mark up proyek-proyek pembangunan.
4)
Law
Enforcement tidak berjalan
Para
pejabat yang serakah dan PNS yang KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh
dibilang penegakan hukum tidak berjalan hampir diseluruh lini kehidupan, baik
di instansi pemerintahan maupun lembaga kemasyarakatan karena segalanya diukur
dengan uang. Hal ini juga menimbulkan kata-kataplesetan seperti, KUHP
(Kasih Uang Habis Perkara) atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang Maha
Kuasa).
5)
Hukuman
yang ringan terhadap koruptor
Adanya
Law Enforcement tidak berjalan dengan semestinya, dimana aparat penegak hukum
bisa dibayar. Maka, hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan
sehingga tidak menimbulkan efek jera.
6)
Pengawasan
yang tidak efektif
Dalam
sistem manajemen yang modern selalu ada instrumen yang disebut internal kontrol
yang bersifat in build dalam setiap unit kerja. Sehingga sekecil
apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula
dilakukan perbaikan. Tetapi internal kontrol yang ada disetiap unit sudah tidak
lagi berjalan dengan semestinya karena pejabat atau pegawai terkait bisa
melakukan tindakan korupsi.
7)
Tidak
ada keteladanan pemimpin
Ketika
resesi ekonomi 1997, keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari
pada Thailand. Namun pemimpin Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam
pola hidup sederhana. Sehingga lahir dukungan moral dan material dari
masyarakat dan pengusaha. Maka dalam waktu singkat, Thailand telah mengalami
recovery ekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan
teladan sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara mendekati jurang kehancuran.
8)
Budaya
masyarakat yang kondusif untuk KKN
Korupsi
yang ada di Indonesia tidak hanya terpusat pada pejabat Negara saja, melainkan
sudah meluas hingga ke masyarakat. Hal ini bisa dicontohkan pada saat
pengurusan KTP, SIM, STNK, maupun saat melamar kerja. Tindakan masyarakat ini
merupakan pencerminan yang dilakukan oleh pejabat politik.
Penyebab
terjadinya korupsi juga disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan
yang dimiliki oleh pejabat demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara, maupun teman. Wertheim (dalam Lubis,
1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi
bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia
mengambil keputusan yang menguntungkan kepentinagan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi.
D.
Masalah
Korupsi Oleh Pejabat Negara
Permasalahan
Praktik Korupsi di Indonesia yang semakin meningkat, baik secara kuantitaif
maupun kualitatif. Modus operandinya pun makin canggih. Pelakunya juga beragam,
latar belakang profesi, usia, dan pendidikan. Yang lebih maraknya yaitu yang
dilakukan oleh pejabat Negara DPR Indonesia sekarang ini. Korupsi masih
merupakan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi, penghambat kecerdasan anak
bangsa, dan kemajuan bangsa. Namun sampai saat ini belum ada langkah yang tepat
untuk menangani kasus korupsi tersebut.
Maraknya
korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan telah menjadi budaya.
Pada dasarnya, korupsi adalah suatu pelanggaran hukum yang kini telah menjadi
suatu kebiasaan. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, kasus
korupsi di Indonesia belum teratasi dengan baik. Indonesia menempati peringkat
ke-100 dari 183 negara pada tahun 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Di era
demokrasi, korupsi akan mempersulit pencapaian good governance dan pembangunan
ekonomi. Terlebih yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
E.
Mengapa
Korupsi Sulit Diberantas di Indonesia ?
Kesulitan
mengurai permasalahan korupsi di negeri ini setara dengan sulitnya mencari
manusia jujur di negeri ini. Kalau pun ada ada yang berani bicara jujur
mengungkap kasus suatu korupsi, akan banyak yang mengira orang itu tengah
berbohong atau setidaknya menyimpan agenda tersembunyi.
Pada
dasarnya motif /alasan yang mendorong seseorang melakukan tindakan korupsi ada
dua penyebab yaitu dorongan kebutuhan (need driven) dan dorongan
kerakusan (greed driven). Memang sama2 korupsi namun ternyata latar
belakang orang melakukan perilaku tercela itu memang berlainan. Sebenarnya
perilaku korupsi ini telah mengakar di elemen masyarakat luas, tidak hanya
terjadi di institusi baik pemerintah ataupun swasta baik dilakukan oleh
aparatur pemerintah ataupun pegawai swasta.
Praktek
korupsi berkembang pada situasi dimana job security tinggi dengan tingkat
profesionalitas yang rendah sehingga para pegawai tersebut sering menyalah
gunakan kewenangannya untuk memenuhi keinginannya daripada pelaksanaan tugas
yang seharusnya dia laksanakan. Namun kalau ditelaah sebenarnya penyebab
timbulnya perilaku korup disebabkan adanya beberapa faktor, yaitu :
1)
Perilaku
yang bersumber budaya masyarakat
Perilaku
korupsi memang sangat berbeda pemahamannya antar budaya masyarakat terutama
budaya lain bangsa. Kita ambil contoh adalah budaya masyarakat Jepang yang
terbiasa memberikan ”omiyage” atau cendera mata kepada mitra
bisnisnya. Atau contoh lain adalah budaya masyarakat Afrika pada umumnya yang
terbiasa memberikan reward berupa memberitambahan hadiah bilamana layanan
jasa telah diberikan oleh suatu pihak. Jadi bentuk rasa terimakasih dalam
bentuk tip ini adalah sudah menjadi bagian budaya yang melekat di masyarakat
yang sangat sulit untuk diubah, dan bilamana ada pihak yang berusaha
mengilangkannya dapat dianggap sebagai tindakan yang menentang nilai budaya
masyarakat tersebut.
Namun
sebenarnya perilaku korupsi yang sangat meresahkan adalah berakar atau
bersumber dari adalah perasaan tamak/rakus (greed driven) daripada sekedar
berasal nilai budaya masyarakat. Jadi masyarakat harus mempunyai standar
kepatutan dari sebuah figur orang dalam mengampu sebuah jabatan, bilamana figur
tersebut mempunyai sesuatu diluar standar kepatutan maka masyarakat perlu
bertanya darimana sesuatu miliknya itu berasal.
2)
Tiadanya
transparansi/keterbukaan
Apabila
suatu tugas dan fungsi pekerjaan dilaksanakan dengan sifat kerahasiaan yang
melekat akan mendorong timbulnya korupsi. Jadi adanya proses keterbukaan dengan
lebih memberikan kesempatan kepada elemen masyarakat dan media massa untuk
mengakses layanan publik adalah bagian dalam fungsinya menjalankan sebagai
kontrol yang akan menekan angka korupsi.
3)
Ketiadaan
lembaga pengawas
Perananan
lembaga pengawas ini sangat penting keberadaannya baik adanya lembaga pengawas
internal maupun eksternal. Salah satu tugas lembaga pengawas ini adalah
melakukan proses investigasi adanya dugaan korupsi berasal dari keluhan
masyarakat. Bilamana lembaga semacam ini tidak ada maka para aparatur akan
mendapatkan keuntungan dengan lemahnya fungsi kontrol tersebut, ataupun
bilamana pelaku korupsinya tertangkap tangan maka proses hukumnya tidak akan
membuat jera pelaku korupsi.
F.
Mengapa
korupsi sulit di berantas ?
Korupsi
memang menjadi momok bagi semua aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
tidak hanya aspek ekonomi melainkan aspek politis pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan dan lainnya. Yang paling parah adalah dengan maraknya budaya
korupsi moral dan akhlak suatu bangsa bisa sangat rusak karena hal tersebut
sama halnya dengan mengisap darah kaum miskin dan rakyat pada umumnya. Oleh
karenanya kenapa kita semua menginginkan praktek korupsi bisa diberantas habis
sampai ke akar-akarnya dari bumi pertiwi yang tercinta ini. Namun sejauh ini
kenapa upaya pemberantasan korupsi sangat sulit dicapai, pasti selalu ada saja
pihak yang merasa dirugikan dengan adanya upaya pemberantasan korupsi, siapa
mereka tentunya mereka adalah pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh
praktek korupsi.
Pertanyaan
tersebut menghinggapi banyak kalangan sampai saat ini. Berbagai komentar dari
berbagai kalangan baik dari pejabat, politisi, hukum dan akademisi setiap hari
menghiasi mulai dari media cetak sampai online. Akan tetapi seolah pemerintah
bergeming dan pemberantasan korupsi seolah berjalan di tempat.
Meski
upaya pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan, kondisi tidak kunjung membaik.
Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik,
ekonomi, sosial dan budaya yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan
sehingga memberantasan korupsi bukanlah perkara mudah.
Apa
yang salah dengan dengan sistem yang ada dan mengapa korupsi jadi sedemikian
sulit diberantas. (Wijayanto, korupsi mengorupsi Indonesia) berpikir
ada beberapa kondisi yang menyebabkan ini masih terjadi.
1. Kepemimpinan
2. Kesejahteraan
Di
Indonesia para pemimpin negara, petinggi, dan jajarannya ibarat setan yang
selalu menghantui perekonomian negara. Substansi politik yang berubah-ubah dan
tidak transparan dalam penyelesain setiap kasus Korupsi yang ada. Misalkan
kasus Hambalang yang menyeret M. Nazaruddin tidak pernah terbongkar walaupun
terkait tersangka dan saksi telah memberikan keterangannya untuk memberantas
masalah ini tetap tidak terbongkar.
G.
Mengapa
Bisa Terjadi Korupsi ?
Korupsi
dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh
seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang
berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Berdasarkan rumusan ini,
dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas
dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person,
otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.
Singh
(1974), dalam penelitiannya menemukan beberapa sebab terjadinya praktek
korupsi, yakni: kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur
administrasi, hambatan struktur sosial. Kartono (1983), menegaskan bahwa
terjadi korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Di
sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu:
Pertma, Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna. Kedua, Administrasi
yang lamban, mahal, dan tidak luwes. Ketiga, Tradisi untuk menambah penghasilan
yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap. Keempat, Dimana
berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan
moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Kelima, Manakala orang tidak
menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah.
H.
Dampak
Korupsi Terhadap Kegiatan Bisnis
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen
dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau
karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi
ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat
aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos
niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang
memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan
lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan
tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para
pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan
ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah
korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman
modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke
dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika
yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator
Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari
semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan,
melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dariUniversitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal
dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari
jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian
pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu
teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu
faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa
pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat
dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan
mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa
depan.
Dari
segi ekonomi sendiri, korupsi akan berdampak banyak perekonomian negara kita.
Yang paling utama pembangunan terhadap sektor - sektor publik menjadi
tersendat. Dana APBN maupun APBD dari pemerintah yang hampir semua dialokasikan
untuk kepentingan rakyat seperti fasilitas-fasilitas publik hampir tidak
terlihat realisasinya, kalaupun ada realisasinya tentunya tidak sebanding
dengan biaya anggaran yang diajukan. Walaupun belum banyak buktinya, jelas ini
merupakan indikasi terhadap korupsi. Tidak jelasnya pembangunan fasilitas -
fasilitas publik ini nantinya akan memberi efek domino yang berdampak sistemik
bagi publik, yang dalam ini adalah masyarakat. Contoh kecilnya saja, jalan -
jalan yang rusak dan tidak pernah diperbaiki akan mengakibatkan susahnya masyarakat
dalam melaksanakan mobilitas mereka termasuk juga dalam melakukan kegiatan
ekonomi mereka. Jadi akibat dari korupsi ini tidak hanya mengganggu
perekonomian dalam skala makro saja, tetapi juga mengganggu secara mikro dengan
terhambatnya suplai barang dan jasa sebagai salah satu contohnya.
I.
Siapa
Yang Harus Bertanggung Jawab ?
Lantas,
siapa yang harus bertanggungjawab memberantas korupsi?
Percaya
atau tidak, korupsi itu adalah hasil belajar seseorang dan kemudian
diajarkannya lagi kepada orang lain. Begitu seterusnya sehingga korupsi ada
dimanamana. Faktor utama perbuatan korupsi adalah manusia. Kwik Kian Gie pernah
mengatakan seluruh upaya pemberantasan korupsi yang dibuat akan percuma, tidak
akan efektif sama sekali jika factor manusianya dikesampingkan, jika tidak ada
program yang berfokus pada perbaikan manusianya sendiri.
Manusia
disamping sebagai makhluk individu adalah juga makhluk sosial. Sebagai makhluk
individu, manusia mempunyai cipta, rasa, dan karsa dan menampilkan diri sebagai
pribadi. Sebagai makhluk sosial, manusia memelihara dan mengembangkan
eksistensinya dengan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam bentuk hidup
bermasyarakat.
Orang
bijak pernah berkata bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci, putih
bersih. Maka lingkungan lah yang akan membentuk kepribadiannya, menentukan jati
dirinya. Apakah dia nantinya akan menjadi orang baik, yang akan banyak memberi
manfaat bagi diri dan lingkungannya, atau sebaliknya dia akan menjadi orang
jahat dan membawa kesengsaraan bagi orang lain. Semua itu ditentukan oleh
pengaruh dari lingkungan dimana dia hidup bermasyarakat. Salah satu teori
penyebab terjadinya suatu tindak kejahatan adalah " bahwa perilaku
kriminal akan timbul manakala manusia menyerap informasi, pandangan, dan
motivasi dari orang-orang dekat disekitarnya" (sebagaiman dimuat dalam Association
of Certified Fraud Examiners (ACFE) Manual section Criminology, yaitu Social
Learning Theory). Para ahli penganut teori ini percaya bahwa setiap orang
berpotensi untuk melakukan tindak kejahatan jika selalu dihadapkan pada
persoalan kriminal.
Jadi,
jika seseorang dilahirkan dengan lingkungan yang permisif terhadap tindakan
kriminal akan mendorong dirinya untuk berbuat yang serupa. Bila manusia
dibesarkan dalam lingkungan yang sudah terbiasa dengan perbuatan yang cenderung
menyimpang, yang menganggap memberi uang pelicin agar urusannya lancar adalah
biasa, lingkungan yang berpandangan bahwa menerima hadiah atau pemberian yang
berkaitan dengan tugasnya adalah wajar bahkan suatu keharusan, lingkungan yang
terbiasa me -mark up kuitansi pengeluaran agar bias diambil selisihnya
untuk keuntungannya, maka orang tersebut akan terdorong untuk melakukan perbuatan
menyimpang tersebut.
Demikian
juga dengan korupsi. Mungkin pada awalnya hanya coba -coba, kecil-kecilan.
Misalnya, seorang pimpinan proyek yang karena gajinya kecil, terdesak oleh
kebutuhan pokok, dan karena melihat rekan-rekan sejawatnya yang melakukan itu
aman-aman saja, maka dia mencoba berkolusi dengan kontraktor pemenang tender
untuk menggelembungkan nilai kontrak di atas harga yang wajar untuk dia ambil
dan dibagi-bagi selisih harganya tadi. Dia berhasil pada kali yang pertama dan
berniat untuk berhenti korupsi karena kebutuhan mendesaknya sudah terpenuhi.
Namun hal itu tidak dapat dia lakukan karena jika dia berhenti pada kali yang
kedua, maka perbuatan jeleknya terdahulu akan terbongkar, oleh karenanya dia
kemudian mempelajari bagaimana cara agar tidak ketahuan, bertanya ke
kanan-kiri. Demikian seterusnya sampai akhirnya menjadi kebiasaan dan ketagihan
untuk berbuat serupa, bahkan mengembangkan modusnya agar benar-benar tidak akan
pernah terdeteksi.
Dengan
cara demikianlah korupsi berkembang di negeri ini. Awalnya tidak tahu, kemudian
tahu karena terjun ke lingkungan yang memberinya informasi dan pengalaman
tentang perbuatan korupsi, sampai akhirnya tergoda untuk melakukannya. Semua
itu melalui proses yang namanya belajar.
Dengan
demikian, cara memerangi yang paling efektif pun harus melalui proses
pembelajaran kembali kepada masyarakat, individu, dan publik. Harus ditanamkan
sikap dan pengertian bahwa perbuatan korupsi adalah perbuatan yang sangat
jahat, the root of all evils, korupsi adalah sumber dari segala
permasalahan yang mencuat dalam segala bidang.
Jika
seseorang sudah memahami apalagi merasakan akibat jelek dari perbuatan korupsi,
maka akan timbul kecenderungan berkurangnya perbuatan korupsi. Disinilah letak
pentingnya dijatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku korupsi. Dalam
proses pembelajaran, publik juga perlu keteladanan dari pejabat pemerintah dan
tokoh masyarakat untuk menunjukkan perilaku yang anti korupsi, bukan
sebaliknya, seperti saat ini lembaga yang notabene sebagai penegak hukum dan
pemberantas korupsi justru saling berseterusatu sama lain. Seharusnya
lembaga-lebaga tersebut lebih fokus untuk melakukan penindakan terhadap
kejahatan korupsi serta memberikan pembelajaran kepada masyarakat agar tercipta public
awareness tentang korupsi, apa bahayanya, tandatanda korupsi, dampak dan
konsekuensinya serta kepedulian terhadap bahaya laten korupsi.
Sumber :